Sabtu, 26 Mei 2012

Profil Rokan aHilir

KABUPATEN ROKAN HILIR




Dengan kawasn perairan yang sangat potensial, Kabupaten Rokan Hilir memiliki beraneka ragam potensi di sektor perikanan antara laih Ikan Patin, Udang, Kerang Cumi-cumi dan jenis makanan laut lainnya seperti Penyu Hijau, Tiram, Siput dan Rumput Laut.

Informasi Umum

Kabupaten Rokan Hilir menempati wilayah dengan luas 8,961,43 km² atau 896,142.93 ha, berada pada posisi 1º14' - 2º45' LU dan 100º17' - 101º21' BT dan berbatas dengan daerah sebagai berikut:

Utara : Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara

Selatan : Kabupaten Kampar, Bengkalis dan Rokan Hulu

Barat : Provinsi Sumatera Utara

Timur : Kota Dumai

Kabupaten Rokan Hilir dengan Ibu Kota "Bagan Siapi-api" terletak disebelah timur Sungai Rokan. Tempat ini merupakan sebuah perkampungan ikan yang berada pada pantai timur pulau Sumatera. Hasil produksinya seperti Ikan Asin dan Udang diekspor keseluruh wilayah yang ada di Indonesia. Kota lain yang berperan penting di kabupaten ini adalah bagan Batu yaitu berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Beberapa sungai yang mengalir di kabupaten ini berperan penting sebagai sarana transportasi untuk perekonomian rakyat. Sungai Rokan merupakan sungai terpanjang dengan panjang 350 km.

Kabupaten Rokan Hilir memiliki iklim tropis dengan jumlah curah hujan 1.808,5 mm/tahun dan temperatur udaranya berkisar pada 24º-32ºC. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Februari s/d bulan Agustus. Sementara musim hujan terjadi pada bulan September s/d Januari dengan jumlah rata-rata hujan 69 hari, curah hujan tertinggi adalah di Kecamatan Bangko, yaitu 2.710 mm/tahun dan curah hujan terendah di Kecamatan Tanah Putih dengan jumlah 1.443,8 mm/tahun. (BPS, 2006).

Menurut hasil sensus 2006, jumlah populasi Kabupaten Rokan Hilir adalah 421.310 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata adalah 48,33 jiwa/km².


Lebih dari 50% ekonomi kabupaten ini berasal dari sektor pertanian, khususnya dari bagian sektor perkebunan, perikanan, tanaman pangan dan kehutanan. Sektor lain yang memberikan kontribusi besar adalah perdagangan, hotel dan restoran, khususnya pada sektor perdagangan.

Sejak berlakunya otonomi daerah, Kabupaten Rokan Hilir telah mencoba untuk mempersiapkan sarana dan infrastruktur baru seperti:


Transportasi Darat (1.828 km mudah diakses dengan kendaraan roda empat)
Transportasi Udara (4 pelabuhan ekspor-impor), pada 4 lokasi yaitu; Bagan Siapi-api, Panipahan, Tanjung Lumba-lumba dan Sinaboi
Listrik - 26 unit pembangkit listrik tenaga diesel dengan total kapasitas 29.372.616 kWH
Telekomunikasi (telepon rumah, telepon genggam dan internet)
Fasilitas Kesehatan (3 Rumah Sakit, 10 Puskesmas, dan 58 Puskesmas Pembantu)
Air bersih, dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Mineral (PDAM) dengan jumlah volume 9.840 m³
Fasilitas pendukung; Perbankan (Bank Nasional dan Bank Lokal), Akomodasi (Hotel dan Fasilitas Pemondokan)

Sabtu, 05 Mei 2012

trik biar pacar ga ngambek lagi

Tanyakan maunya



Daripada kelamaan ngambek yang enggak jelas, lebih baik tanyakan penyebab kemarahannya dan apa yang bisa kamu lakukan untuk meredakannya. Dengarkan setiap ucapannya dengan seksama, jangan buat dia harus mengulangi perkataannya beberapa kali. Itu bisa bikin dia tambah kesal karena merasa omongannya tidak diperhatikan.









Beri ia waktu



Jangan berpikir yang nggak-nggak dulu. Bisa jadi dia sedang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri dan pikiran.



Kasih kejutan



Kamu bisa kasih sesuatu yang lagi dia idam-idamkan, misalnya tiket nonton festival Java Jazz atau kirim undangan dinner di restoran favoritnya. Tapi kalo ternyata kondisi kantong sedang tidak memungkinkan, kamu cukup datang ke rumahnya dan menyatakan kekhawatiranmu tentang dirinya yang tak pernah mengirim kabar.



Pasang rayuan



Orang paling realistis pun, nggak akan tahan dengan rayuan. Tapi jangan coba-coba melancarkan rayuan gombal, kalau ternyata kamu nggak pengen ngeliat pacar tersayang makin naik pitam.





Cuekin balik



Belom sukses juga meluluhkan hati pacar yang lagi ngadat? Cuekin dia...! Masih banyak cowo 'n cewe di luar sana, kok. Mendingan kamu cari yang baru. Lagian... emangnya enak dicuekin...

Sabtu, 25 Februari 2012

sejarah rokan hilir

PENELUSURAN ARKEOLOGI DAN SEJARAH BAGANSIAPIAPI,
KABUPATEN ROKAN HILIR, PROVINSI RIAU


Bagansiapiapi in the east coast of Sumatera has spcial role related to the trade
activities, politic, and culture. The existence of this city was also influence with the
Rokan River and Rokan Kingdom which was very closed with other Melayu
Kingdoms in Mallaca Straits. The domination of this city nvance of Cina remains
were made by Tionghoa ethnic. Nevertheless, the archaeological and historical
remains in Hinduism, Buddhism, and Islam-colonialism period can be found.
Bagansiapiapi’s archaeological and historical research use inductive approach with
description and analysis. All of it is to pointed out for understanding the ancient life
aspect and nowadays developments

2. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang
Kabupaten Rokan Hilir di Provinsi Riau, beribukotakan Bagansiapiapi, kota nelayan
yang dibangun di atas air dan rawa yang pernah dikenal sebagai penghasil ikan
terbesar di Indonesia. Wilayah Kabupaten yang luasnya 8.881,59 km² ini terbagi dalam
13 wilayah kecamatan dan 83 desa dengan jumlah penduduk 349.771 jiwa. Kabupaten
ini terletak di di pesisir paling utara Rokan Hilir tepatnya di muara Sungai Rokan.
Pencapaian Bagansiapiapi dapat ditempuh melalui jalur laut maupun darat.
Berpenduduk mayoritas orang Cina, Bagansiapiapi dahulu merupakan pelabuhan
nelayan yang cukup besar. Keberadaannya sebagai penghasil ikan setidaknya
dikenal telah dimulai sejak akhir abad ke-19, saat telah cukup banyak pendatang dari
Tiongkok bekerja di daerah ini. Perairan potensial di sana memungkinkan dijadikannya
perikanan sebagai sektor yang diunggulkan.
Sebagian anggota masyarakat di sana masih mengingat bahwa kejayaan
Bagansiapiapi dicapai pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Sekitar tahun 1930-
an pelabuhan Bagansiapiapi yang menempati tepian Selat Malaka diketahui
1 Balai Arkeologi Medan
2 Balai Arkeologi Medan
3 Universitas Sumatera Utara
4 Universitas Sumatera Utara
5 Universitas Sumatera Utara
6 Akademi Pariwisata Medan

Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
menghasilkan ikan sebanyak 300.000 ton per tahun. Kenyataannya hal itu tidak
mampu bertahan, dan keredupan sektor perikanan Bagansiapiapi dirasakan sejak
sekitar tahun 1970-an.

Kepudarannya sebagai sebuah pelabuhan penting terkait produk perikanannya di Selat
Malaka – pada awal hingga pertengahan abad ke-20 - terlihat pula pada penurunan
jumlah sentra-sentra pembangunan perahu di sana. Bukan saja sebagai penghasil
ikan, sebagai pemasok perahu penangkap ikan yang cukup besar nama
Bagansiapiapi-pun telah dikenal sejak dahulu. Sebagian warga masih dapat
menyebutkan bahwa perahu penangkap ikan buatan Bagansiapiapi mampu
menembus pasar Asia Tenggara, sehingga tidak mengherankan bila dahulu banyak
dijumpai di perairan Malaysia, Singapura,Thailand, bahkan perairan Vietnam. Namun
berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya, saat ini kondisi industri perahu penangkap
ikan Bagansiapiapi mengalami kemacetan. Sarana penangkapan ikan di laut menjadi
amat berkurang. Kita dapat mengatakan bahwa sebuah ciri kemaritiman daerah ini
tidak lagi menonjol.

Bahwa ada sesuatu yang masih menandai Bagansiapiapi sebagai salah satu pusat
perikanan yang besar adalah ritual yang diselenggarakan masyarakat Tionghoa di
sana. Ritual dimaksud adalah Bakar Tongkang atau Go Caplak, yang diselenggarakan
setiap penanggalan Imlek bulan kelima (Go) tanggal ke-16 (Caplak) setiap tahunnya.
Ini berkenaan dengan ungkapan syukur masyarakat atas hasil yang diperoleh dalam
pengelolaan perairan. Ritual tersebut diikuti ribuan orang, penduduk lokal maupun
pendatang dalam dan luar negeri, sehingga tidak mengherankan bila pihak Pemerintah
Daerah Kabupaten Rokan Hilir saat ini gencar mempromosikan potensi wisata
tersebut.

Demikianlah pengamatan atas keberadaan sebuah kota di pantai timur Sumatera, di
tepian Selat Malaka, memperlihatkan adanya dinamika kehidupan budaya
masyarakatnya. Hal yang muncul adalah pemikiran tentang perlunya sebuah penelitian
untuk memahami berbagai aspek kehidupan yang telah berlangsung dan yang
pengaruhnya masih dapat dirasakan dalam kehidupan kini. Ini berkenaan dengan,
antara lain, perkembangannya dari sebuah pemukiman sederhana menjadi kota;
kedatangan migran Cina yang kelak bersama-sama dengan penguasa Melayu di sana
menjadikannya sebuah sentra perikanan yang besar pada masanya; perannya dalam 26
dunia pelayaran dan perdagangan di Selat Melaka; sampai pada pemanfaatannya
sebagai sebuah pusat pemerintahan. Semua aktivitas dimaksud telah memungkinkan
terakumulasinya peninggalan budaya dalam berbagai bentuk objek arkeologis dan
historis, di samping aktivitas kehidupan budaya yang masih berlangsung hingga kini.

1.2. Rumusan Masalah

Berkenaan dengan latar belakang di atas dapat diajukan permasalahan, yaitu
bagaimana data tinggalan arkeologis dan historis di Bagansiapi dan sekitarnya
terutama yang berada pada wilayah administratif Kabupaten Rokan Hilir.
Bagansiapiapi sejak dulu telah menjadi ajang kegiatan manusia, menyangkut aktivitas
perdagangan, politik, dan kebudayaan. Wilayahnya yang berhadapan dengan Selat
Malaka memungkinkan menjadi tempat pendaratan bagi pelayar dan pedagang
berbagai tempat. Sebagian peninggalan arkeologis dan historis di wilayah Provinsi
Riau telah dideskripsi dan dipetakan namun di beberapa lokasi strategis lain yang
merupakan bandar perdagangan masih menyimpan beberapa bukti mengenai yang
menunjukkan keterkaitan dengan sejarah kejayaan kerajaan- kerajaan di Riau pada
masa lalu, yang pada masanya telah menjalin hubungan dengan daerah lain.

1.3. Tujuan dan Sasaran

Tujuan penelitian ini adalah pemahaman mengenai aspek kehidupan masa lalu Kota
Bagansiapiapi dan sekitarnya serta perkembangan kota pesisir pantai Sumatera
melalui peninggalan arkeologis dan historisnya, mengingat secara geografis maupun
secara politis memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan Sungai Rokan yang
bermuara di Selat Malaka dan Kerajaan Rokan yang juga memiliki hubungan erat
dengan kerajaan-kerajaan Melayu di kiri dan kanan Selat Malaka. Berkenaan dengan
hal tersebut, maka sasaran yang ingin dicapai adalah mendapatkan informasi
mengenai berbagai data arkeologis/benda budaya sisa-sisa peninggalan di Kota
Bagansiapapi dan sekitarnya, sekaligus melengkapi peta kepurbakalaan di wilayah
tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian

Berkenaan dengan pengembangan konsep, kegiatan penelitian ini memungkinkan
perolehan informasi bagi upaya mengetahui bentuk kota-kota awal di pesisir pantai
timur Sumatera. Selain itu dapat dikenali peran etnis Cina sebagai bagian masyarakat
Indonesia bagi perkembangan kota dan komponen perkotaan di Indonesia. Adapun 27
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
manfaat lain kegiatan ini adalah memberi dukungan data dan informasi bagi upaya
penataan kota yang juga dapat dikaitkan dengan upaya pengembangan dan
pemanfaatannya bagi kepariwisataan. Dalam konteks ini wisatawan tidak datang ke
suatu tempat semata-mata untuk melihat tari-tarian atau sejenisnya saja seperti yang
banyak dipromosikan. Menikmati kota yang nyaman dengan daya tarik bangunanbangunan kunanya, bersantai di kedai kopi, atau berperahu di sepanjang sungai
adalah juga hal yang diinginkan wisatawan.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penalaran induktif dengan sifat deskriptif-analitis.
Tahapan penelitian dimulai dengan observasi/pengamatan dan pengumpulan data di
lapangan yang kemudian di deskripsikan dan dianalisis sehingga didapatkan
kesimpulan di sebagai hasil penelitian ini. Tahap observasi atau pengamatan
merupakan bagian kegiatan pengumpulan data yang didapatkan melalui survei dan
wawancara. Survei diberlakukan atas objek arkeologis maupun material historis serta
lingkungannya. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat yang bertempat tinggal
di sekitar situs/lokasi bersejarah maupun pemilik informasi lain guna mendapatkan
data mengenai silsilah dan hal lain yang berkaitan dengan situs/objek dimaksud.
Dalam pelaksanaannya, pendeskripsian dilakukan melalui penggambaran kondisi
lingkungan, pengukuran, pemotretan, serta pencatatan atas obyek-obyek yang asa.
Selanjutnya adalah pengklasifikasian/pemilahan terhadap karakter tinggalan
arkeologis/historis. Berikutnya adalah analisis data yang meliputi antara lain analisis
masa tinggalan dibuat berdasarkan kronologis kekerabatan dan jenis-jenis
permasalahan lain yang dihadapi pada setiap situs. Hasil analisis terhadap tinggalan
arkeologis diintegrasikan dengan informasi kesejarahan serta data lingkungan di
sekitar situs guna mengetahui berbagai hal terkait karakter budaya dan juga proses
budaya.

1.6. Pelaksanaan Penelitian
Ini adalah pelaksanaan program kegiatan Balai Arkeologi Medan bersama dengan
pihak Akademi Pariwisata Medan dan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
pada tahun anggaran 2009. Kegiatan ini merupakan penelitian arkeologis-historis
yang dilakukan dalam upaya pengumpulan data arkeologis dan kesejarahan di
Bagansiapiapi khususnya dan Kabupaten Rokan Hilir pada umumnya. Kegiatan 28
penjaringan data berlangsung sejak tanggal 13 Oktober 2009 sampai dengan tanggal
26 Oktober 2009.
Dalam pelaksanaannya, bantuan berbagai pihak telah memungkinkan terlaksananya
kegiatan ini dengan baik. Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rokan
Hilir adalah salah satu di antaranya, seperti halnya juga pihak-pihak Kecamatan
Bangko, Tanahputih, dan Kecamatan Batuhampar, yang dengan kesiapan dan
kesigapannya sangat memperlancar kerja tim di lapangan. Kondisi itu pula yang
memungkinkan pencapaian dan pengenalan objek arkeologis-historis di Bagansiapiapi
dan sekitarnya, yang meliputi sisa percandian, makam-makam tokoh dan bong,
tempat/lokasi yang dianggap keramat atau berkenaan dengan peristiwa/legenda,
klenteng, sisa dermaga, bangunan gereja, rumah-rumah lama di lingkungan
masyarakat Tionghoa, dan tugu perdamaian.
3. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

2.1. Kabupaten Rokan Hilir

Kabupaten Rokan Hilir merupakan hasil pemekaran Kabupaten Bengkalis, sesuai
dengan UU-RI Nomor 53 Tahun 1999. Wilayah Kabupaten di pesisir timur Pulau
Sumatera ini menempati koordinat antara 1° 14’ – 2° 30 LU dan 100° 16 – 101° 21 BT
dengan luas wilayah 8.881,59 km

Wilayah Kabupaten terbagi dalam 13 wilayah

kecamatan. Adapun wilayah Kecamatan terluas adalah Kecamatan Tanah Putih yang
mencapai 1.933,23 km

sementara wilayah terkecil seluas 198,39 km adalah
Kecamatan Tanah Putih Tanjung Melawan.
Wilayah Kabupaten Rokan Hilir berbatasan dengan wilayah Provinsi Sumatera Utara
dan Selat Malaka di sebelah utara; Kota Dumai di sebelah timur; wilayah Kabupaten
Bengkalis dan Kabupaten Rokan Hulu di sebelah selatan; serta wilayah Provinsi
Sumatera Utara di sebelah barat. Di wilayah ini mengalir sekurangnya 16 sungai yang
cukup besar yang dapat dilayari kapal pompong, sampan, dan perahu sampai ke hulu
sungainya. Salah satunya adalah Sungai Rokan yang merupakan sarana
perhubungan dan ekonomi masyarakat dengan panjang tidak kurang dari 350 km.
Daerah ini beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan 241,3 mm/tahun dengan
jumlah hari hujan rata-rata 88 hari dan temperatur berkisar antara 26° C--32° C. 29
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
Sektor ekonomi Kabupaten Rokan Hilir bersumber dari sektor pertanian, industri, dan
perdagangan. Pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi pangan seperti beras,
palawija, dan holtikultura. Tanaman pangan yang dihasilkan adalah padi sawah dan
padi ladang, dan sayur-sayuran. Dari hasil perkebunan hasil terbesar diperoleh dari
kelapa, kelapa sawit, dan karet.
Peta Lokasi Penelitian di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir

2.2. Lintasan Sejarah Rokan Hilir

Tidak mudah menulis sejarah daerah ini mengingat tidak atau belum diketahuinya
sumber-sumber tertulis/historis yang layak ditelaah. Begitupun dengan sumber-sumber
arkeologisnya, belum banyak yang dapat dikemukakan. Melalui pemanfaatan sumber
yang tersedia - dalam kondisi kualitas kesahihan yang kadang meragukan – maka
garis besar sejarahnya adalah sebagai berikut. 30
Negeri-negeri di sepanjang Sungai Rokan atau Riau umumnya baru mulai disebutsebut setelah Kerajaan Suwarnabhumi runtuh pada abad ke-14 M. Negeri-negeri yang
berada di bawah pengaruhnya kemudian melepaskan diri. Samudera Pasai mulai
muncul pada bertepatan dengan ekspansi Singosari. Demikian pula dengan Kandis,
Aru, Lamuri, Rokan, Siak, Keritang, Tumihang (Tamiang), Lahwas (Padang Lawas)
dan sebagainya. Negeri-negeri ini berada di aliran Sungai Rokan, Belawan/Deli,
Krueng Aceh, Siak, Kampar, Inderagiri dan Sungai Tamiang yang kesemuanya
bermuara ke Selat Melaka. Negeri-negeri ini mulai bangkit ketika Suwarnabhumi
sedang sibuk-sibuknya berperang menghadapi pasukan Singosari. Oleh karena itu
tidak mengherankan apabila seabad kemudian, yaitu pada abad ke-14 M, daerahdaerah ini menjadi negeri bawahan Majapahit dan dicantumkan dalam buku Negara
Kertagama.
Kemungkinan pada masa ini daerah Rokan Hilir dikuasai oleh Kerajaan Rokan. Karena
itu peninggalan-peninggalan berupa reruntuhan Candi Sintong dan Candi Sedinginan
di Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir merupakan peninggalan Kerajaan
Rokan. Dari hasil ekskavasi tahun 1992/1993 di Candi Sintong diperkirakan candi ini
dibangun pada abad 12--13 M. Periode ini merupakan masa kemunculan Kerajaan
Rokan, Ghasib, dan Kandis seiring dengan mundurnya kekuasaan Suwarnabhumi
akibat berperang dengan Singosari. Mundurnya peran Suwarnabhumi merupakan
peluang yang dimanfaatkan Malik Al-Saleh dalam membangun Kerajaan Samudera
Pasai pada tahun 1283.
Ada pula sumber lokal yang menyebutkan bahwa Kerajaan Rokan berdiri pada abad
ke-14 dengan pusat pemerintahan di Kota Lama, yang pengaruh kekuasaannya
sampai ke Batu Hampar. Tidak ada catatan tentang penguasanya, walaupun
disebutkan bahwa penguasa Rokan adalah keturunan Gasib (Siak). Adapun pada
masa pemerintahan Raja Mahmud Syah di Malaka, terjalin hubungan yang erat antara
Kerajaan Rokan dan Kerajaan Malaka. Bahkan dikatakan bahwa Raja Mahmud Syah
memperisteri puteri Raja Rokan yang kelak menurunkan Raja Ibrahim. Namun pada
akhir abad ke-14 Kerajaan Rokan mengalami kemunduran akibat serangan Aceh
(Monografi Daerah Riau, 1981:15).
Samudera Pasai menjadi negara makmur pada abad ke 14--15 dan berperan dalam
mengislamkan beberapa wilayah di Nusantara, termasuk Rokan Hilir. Kehadiran 31
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
Portugis di Samudera, menyebabkan banyak ulama atau keluarga kerajaan hijrah
meninggalkan Pasai menuju Rokan. Pada masa inilah kemungkinan negeri-negeri di
Rokan Hilir atau Riau pada umumnya menganut agama Islam. Tidak mengherankan
bila sejak abad ke-15, Kerajaan Rokan diperintah seorang raja keturunan Sultan Sidi,
saudara Sultan Sujak, sebagaimana diutarakan dalam Sejarah Melayu. Rokan
kemudian menjadi negeri bawahan Malaka yang mulai berjaya sejak Majapahit runtuh
pada akhir abad ke-15. Sultan Muhammad Syah Raja Malaka (1425--1455) mengawini
puteri raja Rokan yang dijadikan Raja Perempuan atau Permaisuri Malaka (Ahmad,
1986 : 82).
Demikianlah dengan memudarnya dominasi Majapahit di Sumatera telah menjadikan
Aru, Pasai, Siak, Rokan, Kampar, Inderagiri, Jambi dan lainnya negeri bawahan
Malaka. Rokan diketahui menjadi negeri pemasok tenaga manusia sebagai pasukan
Malaka saat hendak berperang. Kecuali itu, Bandar Rokan, Kampar, Inderagiri dan
Siak merupakan lokasi-lokasi penting bagi Malaka, untuk menguasai jalur distribusi
komoditas seperti emas, lada, gaharu, dan sebagainya dari Tanah Datar di Sumatera
Barat menuju ke Selat Melaka.
Setelah berhasil menjatuhkan Malaka, Portugis juga berusaha menguasai daerahdaerah di sepanjang Sungai Rokan dan Sungai Kampar. Demikianlah pada abad ke-16
Portugis menyerang negeri-negeri Kampar dan Rokan. Sebagian orang percaya
bahwa meriam dan bekas benteng di Batuhampar (Rokan) dan di Langgam, Kampar
merupakan bukti kedatangan Portugis ke negeri tersebut. Di Batuhampar juga ada
lokasi yang dikenal sebagai Parit Peringgi (Darmawi, 2008:117). Dalam bahasa
setempat/Melayu, kata peringgi kerap dikaitkan dengan orang Portugis. Tradisi lisan
tempatan menceritakan bahwa pertempuran antara pasukan Portugis dan pasukan
gabungan Inderagiri, Jambi, dan Aru di bawah koordinasi Sultan Mahmud, Raja
Malaka yang melarikan diri ke Bintan pernah terjadi di Kerumutan di daerah Pelalawan
pada sekitar tahun 1520-an.
Setelah Kerajaan Rokan yang berpusat di Pekaitan hancur, muncul Kerajaan Tanah
Putih, Kerajaan Bangko, dan Kerajaan Kubu di wilayah Rokan Hilir. Kerajaan ini
kemudian berada di bawah pengawasan kekuasaan Belanda pada abad ke-17, setelah
terlebih dahulu mengusir Portugis dari Malaka pada tahun 1641. Pihak Belanda juga
membangun loji-loji di bandar-bandar penting di muara Sungai Rokan, Kampar dan 32
Siak, baik melalui perjanjian maupun dengan kekerasan senjata. Ketika memasuki
abad ke-18, Siak di bawah Raja Kecil muncul menjadi kekuatan politik penting di
wilayah Riau dan sekitarnya. Kerajaan Tanah Putih, Bangko dan Kubu sejak abad ke-
18 M, tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Siak Inderapura. Untuk memperkuat
pengaruh Siak, Sultan Said Ali mempersunting seorang puteri Kerajaan Tanah Putih.
Pada masa Sultan Siak ke-11 (Sultan Syarif Hasyim, 1889--1908), Kerajaan Tanah
Putih dijadikan bagian wilayah dan diperintah oleh seorang Kepala Negeri bergelar
Datuk Setia Maharaja dan daerahnya disebut Negeri. Sementara di daerah Rokan
Hulu, rajanya bergelar Yang Di Pertuan dan daerahnya disebut Luhak.
Peninggalan lama berbentuk makam di Rokan Hilir, yang berdekatan dengan
reruntuhan candi, hampir dapat dipastikan merupakan peninggalan atau makam para
bangsawan atau ulama beberapa Kerajaan Islam seperti; Kerajaan Rokan (di Kota
Lama maupun di Pekaitan); Kerajaan Bangko, Tanah Putih dan Kerajaan Kubu.
Makam dengan batu nisan seperti itu, memang hanya dipergunakan oleh golongan
elite masa itu, seperti golongan ulama dan kerabat istana (Herwandi,2003;
Suprayitno,2008). Berdasarkan kedekatan letak makam-makam tersebut dengan situs
candi, diperkirakan proses Islamisasi telah menyentuh kalangan elite Kerajaan Rokan
yang masih Hindu-Buddha dan mereka kemudian menjadikan Islam sebagai agama
kerajaan pada abad ke-15. Islamisasi melalui golongan bangsawan atau raja-raja
mempercepat perkembangan Islam di Rokan. Dari sudut pandang ini, sangat mungkin
Kerajaan Rokan Islam merupakan kelangsungan dari Kerajaan Rokan Hindu-Buddha.
Selanjutnya pada periode kemerdekaan Republik Indonesia, Rokan Hilir termasuk
dalam wilayah Propinsi Riau dan menjadi bagian Kabupaten Bengkalis. Akan tetapi
ketika wacana pemekaran daerah berkumandang di Nusantara, maka berdasarkan UU
RI nomor 53 tahun 1999 Rokan Hilir dinyatakan sebagai Kabupaten baru yang lepas
dari Bengkalis. Wilayah yang memiliki luas lebih kurang 888,59 km ini memilih
Bagansiapiapi sebagai pusat pemerintahannya.
2.3. Bagansiapiapi
Seperti yang telah disebutkan di atas, Bagansiapi-api adalah satu wilayah yang
termasuk dalam wilayah Kabupaten Rokan Hilir dan sekarang menjadi pusat
pemerintahan Kabupaten Rokan Hilir. Kota nelayan yang dibangun di atas air dan rawa 33
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
ini mayoritas penduduknya adalah orang Cina. Dalam kesehariannya sebagian masih
berbicara dalam bahasa Hokkien asli.
Kabupaten Rokan Hulu awalnya adalah bentukan tiga wilayah kenegerian, yaitu
negeri Kubu, Bangko dan negeri Tanah Putih yang masing-masing dipimpin seorang
Kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Siak. Berkenaan dengan sistem
administrasi pemerinatah Hindia Belanda, distrik pertama yang didirikan di sana adalah
Tanah Putih pada tahun 1890. Belakangan, setelah Bagansiapiapi yang dipercaya
dibuka oleh pemukim-pemukim Tionghoa berkembang pesat, Belanda memindahkan
pusat pemerintahan ke kota ini pada tahun 1901. Bagansiapiapi semakin berkembang
setelah Belanda membangun pelabuhan modern dan terlengkap untuk mengimbangi
pelabuhan lainnya di Selat Malaka hingga Perang Dunia I usai.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, wilayah Rokan Hilir
digabungkan ke dalam Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Selanjutnya bekas wilayah
Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari Kecamatan Tanah Putih, Kubu dan
Bangko serta Kecamatan Rimba Melintang dan Kecamatan Bagan Sinembah
kemudian pada tanggal 4 Oktober 1999 ditetapkan sebagai sebuah Kabupaten baru di
Provinsi Riau sesuai dengan UU-RI Nomor 53 tahun 1999 dengan ibukota
Bagansiapiapi.
Dulu kota ini terkenal sebagai penghasil ikan terpenting, sehingga dijuluki sebagai kota
ikan. Menurut beberapa sumber, Bagansiapiapi memang merupakan salah satu
pelabuhan penangkapan ikan terbesar di dunia. Berton-ton ikan, mulai dari ikan basah
segar, ikan atau udang kering, ikan asin atau terasi, diekspor dari kota ini ke berbagai
tempat. Akan tetapi julukan Bagansiapiapi sebagai kota ikan lama kelamaan
memudar. Bila sebelumnya faktor alam yang menjadikannya demikian dikenal sebagai
penghasil ikan, kelak diketahui bahwa faktor alam pula yang menyebabkan
pemudarannya secara berangsur-angsur karena pesisir sekitar Bagansiapiapi
mengalami pendangkalan dan sempit oleh endapan lumpur yang dibawa air Sungai
Rokan.
Menurut cerita setempat, nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal
kedatangan orang Cina ke kota itu. Disebutkan bahwa orang Cina yang pertama
sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Sonkla di Thailand. Mereka 34
sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari daerah Hokkian, di
bagian selatan Tiomgkok, di wilayah Provinsi Fujian. Konflik yang terjadi antara orangorang Tionghoa dengan penduduk Sonkla, Thailand kelak menjadi penyebab
terdamparnya mereka di Bagansiapiapi.
Dalam cerita dimaksud disebutkan bahwa pelarian tersebut dilakukan dengan
menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Kejadian-kejadian selama dalam
perjalanan menyebabkan hanya satu tongkang yang selamat sampai di darat. Itu
adalah tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang
lainnya. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun
Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Kie Ong Ya yang
ditempatkan dalam magun/rumah tongkang.
Menurut keyakinan mereka, patung-patung ini akan memberi keselamatan selama
pelayaran itu. Petunjuk akhirnya diberikan oleh sang Dewa, setelah mereka melihat
cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu
ternyata berasal dari kunang-kunang (siapiapi) yang bertebaran di antara hutan bakau
yang tumbuh subur di tepi pantai. Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan
membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama
Bagansiapiapi. Adapun nama bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat,
daerah, atau alat penangkap ikan.
Perairan di seputar Bagansiapiapi dahulu merupakan ladang perikanan yang potensial
di Indonesia yang pengembangannya terkait erat dengan orang Cina yang kelak
menjadi bagian penduduk di pesisir timur Sumatera. Sumber yang layak dipercaya
menyebutkan bahwa jauh pada masa Kaisar Tongzhi (1862--1874), yaitu pada zaman
Dinasti Qing, Hong Shifan dan 10 kawannya dari Kabupaten Tong An, Provinsi Fujian,
datang ke kota itu dan mengembangkan usaha perikanan di sana. Menurut hasil cacah
jiwa pada 1930, dari 9.811 orang Tionghoa yang bekerja di sektor perikanan di seluruh
Hindia Belanda, 54,7 % berada di Sumatera Timur (terutama di Bagansiapiapi).
Menurut statistik lainnya tahun 1928, sebagian terbesar dari 400 lebih usaha
penangkaran ikan di pelabuhan itu milik orang Tionghoa (Kong 2005:407).
Adapun dari sisi kependudukan dan kepercayaan yang dianutnya sebagai sebuah
kebutuhan personal dan komunal, Bagansiapiapi juga tercatat sebagai sebuah tempat 35
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
dengan nuansa Cina yang cukup kental. Di kota ini tercatat adanya klenteng-klenteng
yang didirikan oleh orang/keturunan Tionghoa seperti: klenteng Eng Hok Kiong (Ing
Hok Kiong), Tjin Hai Kiong, Tianwusandoumugong (Klenteng Tian Wu San Dou Mu),
Doumugonglongshansi (Klenteng Dou Mu Gong Long Shan), Xuantangong (Klenteng
Xuan Tan), Jinlongdian (Klenteng Naga Mas), Qinshangong (Klenteng Gunung Biru),
Wudangshan (Klenteng Gunung Wu Dang), dan Engaodang (Klenteng En Gao Dang)
(Kong 2005:383).
Hingga kini, masih menandai Bagansiapiapi sebagai salah satu pecinan Indonesia
sekaligus sentra pusat perikanan yang besar adalah ritual yang diselenggarakan
masyarakat Tionghoa di sana. Ritual Go Caplak atau Bakar Tongkang yang
diselenggarakan setiap penanggalan Imlek bulan kelima (Go) tanggal ke-16 (Caplak)
setiap tahunnya berkenaan dengan ungkapan syukur masyarakat atas hasil yang
diperoleh dalam pengelolaan perairan. Ritual bakar tongkang di Klenteng Ing Ho Kiong
juga merupakan Sembahyang Langit untuk meminta kepada Penguasa Dunia agar
diberikan rezeki pada tahun-tahun yang dijalani.
Sebagai sebuah pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan sekaligus pusat
kebudayaan, Bagansiapiapi saat ini memang telah mengalami beberapa perubahan.
Sesuai dengan perjalanan waktu, konsep kehidupan modern juga mewarnai kehidupan
dan dinamika kesehariannya. Pada saat-saat tertentu Bagansiapiapi menjadi tempat
yang ramai dikunjungi.

3. Pengumpulan Data

3.1. Kecamatan Tanah Putih

3.1.1. Candi Sintong Dan Tapak Mahligai

Candi Sintong di wilayah Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, menempati
koordinat 1o
30’ 42,7” LU dan 100
58’ 39,4” BT di daerah berketinggian 13 meter di
atas permukaan laut. Lokasi Candi Sintong berjarak sekitar 200 meter dari tebing
Sungai Rokan, sekitar 350 meter di sebelah barat lokasi penyeberangan. Beda tinggi
antara permukaan sungai dengan lokasi kekunaan itu sekitar 10 meter.
Lahan tempat berdirinya bangunan kuna itu telah diberi pagar kawat berduri seluas 60
meter x 50 meter. Sisa bangunan peninggalan budaya Hindu-Buddha itu memiliki arah
hadap ke timur, ke arah ruas Sungai Rokan. Kondisinya dipenuhi tumbuhan semak 36
belukar. Candi tersebut hanya dapat dikesan dari bekas-bekasnya seperti struktur
bangunan dengan batu bata merah. Dahulu masyarakat setempat menyebutnya
dengan nama Candi Balik Bukit, dan belakangan orang mengenalnya sebagai Candi
Sintong.
Melihat ukuran strukturnya yang relatif kecil, hanya 5,20 meter x 5,20 meter dan
berketinggian 0,90 meter, dapat diduga bahwa ini merupakan candi perwara walaupun
indikasi candi induknya belum jelas. Adapun di sisi tenggara sisa bangunan candi itu
terdapat kolam seluas 30 meter x 20 meter, yang dikenal sebagai kolam pemandian
Puteri Hijau. Hal ini pula yang menyebabkan orang juga kerap menyebut peninggalan
di sana sebagai Candi Puteri Hijau.
Adapun sekitar 200 meter di arah baratdaya Candi Sintong, pada koordinat

30 41,1” LU dan 100
o
58’ 34,5” BT dengan ketinggian 13 meter di atas permukaan
laut, dijumpai pertapakan yang disebut Tapak Mahligai. Di pertapakan berupa
gundukan tanah dikelilingi parit berukuran lebar 2 (dua) meter itu terdapat sebuah
nisan berbahan batuan sedimen dengan bentuk dasar pipih, panjang 27 cm, tebal 9
cm dan tinggi 45 cm. Bentuk nisan seperti ini biasa dikenal sebagai batu Aceh.
Foto 1. Sisa bangunan Candi Sintong

3.1.2. Candi Sedinginan

Candi Sedinginan menempati bidang tanah milik Bapak Affandi dan Bapak Abdullah, di
jalan Nasruddin, Lingkungan Makmur, Desa Sedinginan, Kecamatan Tanah Putih,
Kabupaten Rokan Hilir. Berada pada kordinat 01
33’ 35,6” LU dan 101
o
01’ 03,0” BT 37
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
di ketinggian 22 meter di atas permukaan laut. Struktur candi sudah tidak dapat dilihat
secara utuh, hanya ditandai beberapa batu bata merah di sekitar tapak dan bahkan di
sumur dan dapur rumah. Pada bulan Desember 1992, situs ini pernah diteliti melalui
ekskavasi oleh tim arkeologi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas),
Jakarta yang berhasil menjumpai struktur bangunan candi berbahan bata. Temuan
sertanya adalah fragmen gerabah. Belum ada perkiraan usia candi tersebut.
Pada lokasi candi ini sekarang telah berdiri rumah, yaitu rumah Bapak Affandi. Bagian
struktur candi yang masih tampak berada di sebelah utara rumah tersebut. Pada
bagian belakang rumah, di sebelah timur, masih ditemukan gundukan tanah dan juga
struktur bata yang merupakan bagian dari candi. Pada bagian gundukan tanah
tersebut terdapat singkapan tanah yang terdiri atas dua lapisan. Lapisan atas
merupakan lapisan yang kemungkinan merupakan sedimentasi dari bukit yang ada di
sebelah timur bangunan candi. Lapisan tanah kedua kemungkinan lapisan asli dimana
bangunan candi tersebut didirikan.
Tidak ada data historis berkaitan dengan situs Candi Sedinginan. Namun dapat
dimungkinkan bahwa Candi Sedinginan adalah peninggalan dari masa Kerajaan
Rokan Hindu-Buddha atau Kerajaan Kandis, yang sudah ada pada abad ke-14 M
sebagaimana disebut dalam kitab Negarakretagama. Tentu masih diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk memastikan sejarah keberadaan Candi Sedinginan.
Foto 2. Struktur Candi Sedinginan yang masih tersisa38
3.1.3. Makam Puyang Panjang
Makam Puyang Panjang terletak di puncak bukit kecil yang ditumbuhi pohon bambu,
di bagian barat Candi Sedinginan. Lokasi Makam menempati kordinat 01
o
33’ 36” LU
dan 101
o
01’ 01,8” BT pada ketinggian 28 meter di atas permukaan laut. Ada dua batu
nisan batu berbentuk dasar segi delapan (oktagonal) dengan puncaknya berbentuk
kelopak bunga teratai. Batu nisan di arah selatan (kaki) sudah tinggal dasarnya dan
yang satu lagi di arah utara (kepala) patah di bagian puncaknya. Tidak terdapat tulisan
di batu nisan tersebut. Tinggi batu nisan 43 cm, sementara panjang makam mencapai
255 cm. Bagian dasar nisan berbentuk empat persegi dengan panjang 12 cm, lebar
12 cm dan tinggi 4 cm. Bagian badan berbentuk kerucut terbalik dengan tinggi 33 cm.
Jarak antara kedua nisan tersebut adalah 210 cm. Pada lokasi ini hanya ditemukan
satu makam saja serta tidak ditemukan konteks temuan lain yang dapat menjelaskan
keberadaan nisan tersebut.
3.2. Kecamatan Batu Hampar
3.2.1. Makam Datuk Batu Hampar
Makam Datuk Batu Hampar terletak di Kecamatan Batu Hampar, Kabupaten Rokan
Hilir, Propinsi Riau. Makam tersebut berada pada kordinat 01
o
53’54,6” LU dan
100
o
56’12,8” BT pada ketinggian 21 meter di atas permukaan laut. Dalam kompleks
makam terdapat 16 buah batu nisan dari berbagai jenis dengan bentuk dasar pipih (6
buah) dan silindris (10 buah). Berdasarkan tipologi nisan (Suprayitno,2008), taburan
nisan di kompleks makam dapat dikelompokkan sebagai berikut : AP10 (1 utuh, 3
rusak), AS3 (6 patah di bagian puncaknya), AP4 ( 2 utuh), AS2 (2:1 utuh dan 1 patah
di puncak), dan 2 buah tipe nisan Melayu ( non Batu Aceh). Makam Datuk Hampar
terletak di bagian paling tinggi dan sudah diberi cungkup (Rumah Makam) oleh
Program ABRI Masuk Desa. Dua buah batu nisannya jenis AP10 sudah rusak dan
tidak terdapat tulisan pada semua batu nisan dalam komplek Datuk Batu Hampar.
Kompleks makam ini terdiri atas empat tingkatan. Perbedaan tinggkatan ditunjukkan
dengan adanya perbedaan tinggi pada penempatan makam. Teras pertama berada
pada bagian yang paling tinggi dari lokasi makam. Pada teras ini terdapat satu buah
makam yang sudah di berikan bangunan baru, berupa cungkup. Berdasarkan informasi
yang didapatkan dilapangan, makam tersebut dipercaya ada lah makam Datuk Batu
Hampar. Pada makam tersebut terdapat dua buah nisan batu aceh. Pada teras kedua,
nisan-nisan makam terbuat dari sandstone tanpa hiasan. Nisan yang ditemukan pada
teras kedua ini mempunyai bentuk tubular dan ada yang hampir menyerupai lingga. 39
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
Pada teras ketiga, nisan-nisan makam yang ditemukan memiliki bentuk gada yang
berhiasan antefik pada bagian dasarnya dan berbentuk seperti belimbing(blimbingan).
Nisan-nisan pada teras ini lebih banyak ditemukan daripada pada nisan-nisan pada
teras kedua. Lapisan teras keempat mempunyai tipologi nisan gaya batu aceh yang
bersayap. Nisan-nisan pada lapisan teras i ni berukuran relatif kecil dengan dimensi
tinggi nisan 30–-35 cm.
Foto 3. Nisan di makam Batu Hampar
3.2.2. Situs Batu Belah
Pada jarak sekitar 50 meter di sebelah timur makam Datuk Batu Hampar terdapat
lokasi yang oleh penduduk disebut Batu Belah. Objek ini merupakan kumpulan batu
alam yang tersusun acak dengan bentuk menyerupai batu yang terbelah. Batu-batu
tersebut tidak ditempatkan atau disusun secara khusus, tetapi tersusun karena proses
alam. Susunan batu-batu tersebut membentuk suatu pola yang memanjang utaraselatan. Dimensi batu rata-rata memiliki panjang 60 cm – 120 cm. Berdasarkan
informasi tempatan, lokasi Batu Belah ini dipercaya sebagai wujud dari anak yang
durhaka kepada orang tuanya. Dikisahkan bahwa hal itu terjadi pada masa Negeri
Batu Hampar diperintah oleh Raja Mambang.
3.3. Kecamatan Bangko
3.3.1. Klenteng Ing Hok Kiong
Klenteng Ing Hok Kiong yang terletak di Jalan Klenteng, Bagansiapiapi dibangun pada
lebih kurang tahun 1826. Bangunan ini memiliki bentuk atap mirip sebuah tongkang,
sehingga orang-orang menyebutnya juga Klenteng Tongkang. Bentuk atap yang mirip
tongkang ini, kemungkinan sebagai simbol dari peristiwa kapal tongkang yang mereka 40
tumpangi yang selamat sampai pada tempat yang akhirnya dapat memberi kehidupan
baru bagi mereka.
Lokasi klenteng ini berada di pusat kota Bagansiapi-api dan memiliki arah hadap ke
barat. Di depan klentheng ini terdapat jalan ke arah barat yang menghubungkan
langsung dengan pelabuhan. Di bagian depan klenteng terdapat tempat ritual bakar
tongkang. Bangunan tempat ritual tersebut berbentuk lingkaran berdiameter 4 meter
dengan tinggi 50 cm. Lokasi ini sekarang berada di satu sudut persimpangan jalan,
antara Jalan Klentheng dan Jalan Aman, sehingga terpisah dari halaman Klentheng
Ing Hok Kiong. Lokasi bakar tongkang tersebut sekarang telah dipindahkan ke Jalan
Perniagaan.
Dalam perkembangannya klenteng ini tidak hanya menjadi pusat keagamaan tetapi
juga pusat kebudayaan Tionghoa, antara lain dengan adanya tradisi bakar Tongkang.
Upacara yang dikenal dengan nama Go Gine Cap Lak diadakan pada setiap tahun,
tepatnya tanggal 15 dan 16 bulan kelima menurut penanggalan Imlek. Upacara ini
merupakan bentuk penghormatan dan rasa syukur warga Tionghoa Bagansiapiapi
kepada Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya atas keselamatan dan
kesejahteraan yang telah diberikan kepada mereka. Demikianlah ritual bakar tongkang
yang juga merupakan bagian dari Sembahyang Langit untuk meminta kepada dewa
agar diberikan rezeki pada tahun mendatang. Adapun kapal tongkang yang dibuat
untuk upacara ini, setelah diresmikan biasanya disemayamkan terlebih dulu di
Klenteng Ing Hok Kiong sebelum upacara pembakaran dilakukan.
Foto 4. Klenteng Ing Hok Kiong41
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
3.3.2. Tugu Perdamaian
Lima puluh meter di sebelah barat Klenteng Ing Hok Kiong terdapat sebuah tugu yang
terbuat dari batu. Tugu yang berbentuk empat persegi dengan tinggi lebih kurang 80
cm dan lebar 40 cm dengan tulisan yang dituliskan pada salah satu sisinya.
Masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi menyebutnya sebagai Tugu Perjanjian, tapi ada
juga yang menamakannya Tugu Perdamaian. Konon tugu ini adalah wujud perjanjian
perdamaian yang terjadi antara roh jahat dengan bhiksu yang didatangkan dari
Tiongkok agar roh jahat yang pernah bergentayangan dan mengganggu penduduk
setempat tidak mengganggu lagi.
Selain Klenteng Ing Hok Kiong dan Tugu Peringatan di sepanjang jalan perniagaan
terdapat sederetan bangunan rumah tempat tinggal mayoritas orang-orang Tionghoa.
Rumah itu umumnya terbuat dari papan, dan mengambil gaya arsitektur campuran
Cina dan Melayu.
Informasi tempatan menyebutkan bahwa dahulu terdapat beberapa buah tugu
perdamaian, namun saat ini hanya tiga buah yang tersisa, masing-masing berada
dalam posisi berdiri tegak di tepi: a. Jalan Perniagaan No. 45; b. Jalan Perniagaan No.
185 B; dan tepi Jalan Klenteng No. 40, di depan Toko Obat Harapan. Tugu
perdamaian yang lain sudah tidak ditemukan lagi dan penduduk mengatakan bahwa
lokasinya dahulu berada di Jalan Utama, di depan Gedung Serba Guna; dan di
Simpang Muslimin. Tugu perdamaian lainnya juga disebutkan pernah ada dan
menempati sekitar perempatan Sumatera Plant.
Tugu perdamaian yang masih dijumpai di Jalan Klenteng, yang terdiri atas 6 baris
bertulisan … nan wu a mi to hut … (sebagaimana hasil pembacaan Tan Sui Ting,
kerabat pemilik Toko Obat Harapan, Bagansiapiapi). Adapun tugu lainnya yang
terdapat di Jalan Perniagaan bertulisan … nan wu a mi yuan fo …. Keterangan yang
diberikan oleh Zhuang Xing Cai, petugas di pusat informasi Maha Vihara Maitreya di
Cemara Asri, Medan menyebutkan bahwa pertulisan-pertulisan itu memiliki arti …
terpujilah Sang Buddha ….42
Foto 5. Salah satu Tugu perdamaian
3.3.3. Rumah Kapitan
Pada masa kolonial, sebagai simbol ”kepala suku” bagi masyarakat Tionghoa yang
ada di Bagansiapiapi, pemerintah kolonial mengangkat salah satu dari mereka menjadi
kapiten. Kapiten ini bertindak sebagai mediator antara masyarakat Tionghoa dengan
pemerintah kolonial. Jabatan ini tidak tetap, tapi berganti-ganti sesuai dengan
keinginan pemerintah kolonial. Salah satu kapiten yang paling diingat oleh masyarakat
Bagansiapiapi adalah Lo Chin Po. Hal itu karena rumah bekas tempat tinggal Lo Chin
Po masih dapat disaksikan hingga saat ini. Rumah yang kini ditempati oleh
keturunannya terletak di Jalan Klenteng Gang Makmur. Bangunan rumah tersebut
berada pada 2° 09’ 42.2” LU dan 100° 48’ 33.6” BT, sekitar 100 meter di utara Kantor
Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kabupaten Rokan Hilir serta berjarak 150 meter di
timurlaut Klenteng Ing Hok Kiong.
Bangunan rumah yang sudah sangat tua tersebut bergaya arsitektur campuran Cina
dan Eropa. Bangunan rumah berbentuk segiempat dengan gaya rumah panggung
dengan penyusun utama bangunan adalah kayu. Pada bagian dinding rumah tersebut
terdapat ukiran-ukiran floral serta stiliran. Hiasan-hiasan tersebut diukir pada bagian
disekitar pintu, jendela, dan juga pada tiang-tiang penyangganya. Selain hiasan-hiasan
tersebut juga dipahatkan hiasan medalion yang dipahatkan dibawah jendela dinding 43
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
bagian depan. Bagian tangga masuk rumah tersebut terbuat dari bangunan bata dan
semen dan dilengkapi dengan pipi tangga yang berada di kiri dan kanan tangga.
Tangga tersebut kini telah diperbaharui dengan menambahkan jalan dibagian atasnya
agar mudah dilalui juga oleh sepeda motor.
Foto 6. Rumah Kapitan
3.3.4. Areal Ritual Bakar Tongkang
Di Jalan Perniagaan Kota Bagansiapiapi terdapat areal ritual bakar Tongkang yang
luas dengan dua buah gapura pada pintu masuknya. Gapura pertama ada hiasan ikan
dan singa, sedangkan pada gapura kedua terdapat tulisan ma. Letak kedua gapura
tersebut saling berdekatan. Di sisi barat terdapat dua buah gedung yang berdenah
segiempat dan lingkaran. Pada sisi timur terdapat klenteng kecil yang berada dekat
dengan gapura kedua. Tempat pembakaran tongkang berada di sisi utara lokasi
tersebut.
3.3.5. Dermaga Lama
Dermaga lama di Bagansiapiapi terletak di sebelah selatan dari Kantor Bea Cukai, di
Jalan Perniagaan, Kecamatan Bangko. Pada lokasi ini tidak ditemukan adanya
tinggalan arkeologis. Lokasi ini saat ini telah dipadati dengan perumahan penduduk.
Lokasi ini berada pada 2°09’36,4”LU dan 100°48’22,3”BT. Dermaga lama ini berada di
baratdaya Klenteng Ing Hok Kiong dengan jarak yang relatif dekat yaitu 300 meter.
Dermaga yang saat ini aktif digunakan pada masa sekarang berada 3 km di sebelah
barat dermaga lama. Jalan menuju dermaga tersebut merupakan jalan lanjutan dari
Jalan Klentheng yang lurus ke timur-barat dari Klentheng Ing Hok Kiong ke arah
Dermaga Bagansiapiapi.44
3.3.6. Sungai Garam
Sungai Garam merupakan sebuah parit yang kemungkinan merupakan salah satu
saluran drainase Kota Bagansiapiapi. Lokasi ini berada di Jalan Sungai Garam,
Kecamatan Bangko yang ujung timurnya bertemu dengan Jalan Perniagaan. Sungai
ini memiliki lebar sekitar 3 meter dengan kedalaman dari kondisi tanah sekarang
adalah 1-–1,5 meter. Sungai Garam ini berada 100 meter sebelah selatan dari
dermaga lama dan Kantor Bea Cukai Kota Bagansiapiapi. Informasi lebih lanjut
tentang keberadaan Sungai Garam ini tidak didapatkan. Namun kemungkinan
penamaan sungai tersebut juga dihubungkan dengan aktivitas pada masa lalu yaitu
pembuatan garam atau karena sungai tersebut airnya yang asin.
3.3.7. Gereja Methodist Indonesia Jemaat Wesley
Gereja Methodist berada di Pusat Kota Bagansiapiapi, tepatnya berada di Jalan Aman,
Bagan Kota Barat, Kecamatan Bangko. Lokasi gereja tersebut kurang lebih 100 meter
sebelah utara Kantor Bupati Rokan Hilir dan 150 meter sebelah selatan Klenteng Ing
Hok Kiong. Gereja ini memilki denah persegi panjang dengan menara di bagian depan
dan memiliki arah hadap ke barat. Gereja ini merupakan salah satu gereja pertama
pada masa perkembangan agama Kristen oleh kelompok Gereja Methodis di wilayah
Rokan Hilir.
3.3.8. Gereja Katolik Paroki Santo Petrus Dan Paulus
Gereja Santo Petrus dan Paulus berada 200 meter di sebelah selatan dari Kantor
Bupati Rokan Hilir, tepatnya berada di Jalan Mawar No 42, Bagan Kota Barat,
Kecamatan Bangko. Gereja ini memiliki denah persegipanjang dengan menara di
bagian depan dan memiliki arah hadap ke timur. Gereja ini memiliki dua buah jendela
di bagian depan dengan menggunakan kaca patri. Selain itu, di bagian samping
terdapat tiga buah jendela dengan menggunakan kaca patri. Lantai gereja berada lebih
tinggi dari lingkungan tanah sekitarnya, sekitar 80 cm. Dinding bangunan gereja
berbahan kayu dengan fondasi lantai berupa batu dan semen. Di dalam kompleks
gereja ini terdapat dua buah rumah berarsitektur colonial, masing-masing di bagian
selatan dan di bagian utara. Ketiga rumah tersebut merupakan bangnan kayu dengan
lantai dari bahan batu dan semen. Di depan gereja ini terdapat kompleks bangunan
sekolah SMP Bintang Laut yang bangunannya berarsitektur kolonial dengan dua lantai. 45
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
3.3.9. Gereja Katolik Santo Damian
Gereja Katolik ini menempati lokasi di bagian utara Kota Bagansiapapi, di Jalan
Bintang Ujung, Kampung Jawa, Kecamatan Bangko. Bangunan gereja merupakan
bangunan panggung dengan struktur kayu dan berdenah persegi panjang. Bangunan
gereja ini memiliki bentuk dasar yang hampir sama dengan Gereja Katolik Santo
Petrus dan Paulus. Jendela-jendela pada gereja ini berbahan kayu.. Informasi yang
ada menyebutkan bahwa lokasi ini dahulu difungsikan juga sebagai sanatorium.
Foto 7. Gereja Katolik Santo Damian
3.3.10. Rumah Cina Di Jalan Perniagaan
Deretan rumah-rumah Cina lama yang ada di Jalan Perniagaan ini pada umumnya
berbentuk rumah panggung dari kayu dengan dua lantai. Bangunan-bangunan rumah
tersebut saling berhimpit satu sama lain sehingga bentuk rumah relatif sama. Rumahrumah tersebut memanjang utara-selatan di sepanjang Jalan Perniagaan. Pada saat
ini rumah-rumah tersebut telah banyak mengalami perubahan ke bangunan bata,
namun bangunan rumah asli masih dapat dilihat pada beberapa ruas jalan ini.46
Foto 8. Rumah-rumah Cina di Jalan Perniagaan
3.3.11. Makam Cina
Tempat pemakaman ini berada di Jalan Simpang, Kampung Jawa, Kecamatan
Bangko. Pada kompleks makam ini terdapat beberapa variasi makam. Makam pertama
adalah makam-makam yang berderet memanjang utara-selatan sampai sepanjang +
200 meter. Pada makam-makam tersebut dituliskan nama, tanggal lahir, serta tanggal
meninggal si mayat. Makam kedua adalah makam cina yang berdiri sendiri dengan
bentuk makam yang berbeda-beda. Pada kompleks makam ini juga terdapat lokasi
pembakaran mayat serta tempat upacara yang menyerupai aula.
Kuburan tradisional Cina yang biasa disebut bong ini memiliki bentuk omega dengan
altar persembahyangan di depannya. Adapun di samping kanan merupakan altar untuk
dewa bumi. Makam ini dapat diisi satu atau dua jenazah (biasanya suami isteri).
4. Pembahasan
4.1. Tinggalan Arkeologis
4.1.1. Makam
Makam berkaitan dengan salah satu siklus kehidupan manusia, yaitu lahir, hidup, dan
mati. Kematian adalah akhir dari perjalanan manusia di dunia untuk menuju kepada
kehidupan di alam akhirat. Seseorang yang telah mati/meninggal dunia akan
dikuburkan di dalam tanah dan diberikan tanda tertentu sebagai penunjuknya. Tandatanda tersebut biasanya ditunjukkan dengan menggundukkan tanah atau pemberian
nisan pada bagian kepala dan kaki, pada bagian kepalanya saja. Tanda kubur ini juga
sering pada bagian tengah dari gundukan tanah tersebut yaitu dengan meletakkan
batu-batu alam yang disusun, namun hal ini sangat jarang ditemukan.47
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
Tanda-tanda kubur telah mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
pola pikir masyarakat pada lingkungannya. Tanda-tanda kubur tersebut kemudian
mempunyai bentuk-bentuk baku yang disesuaikan dengan kreativitas serta budaya
yang mempengaruhi masyarakat di sekitar makam tersebut. Pada makam-makam
Islam terdapat unsur-unsur yang merupakan faktor penunjuk utama, yaitu orientasi
makam utara-selatan dengan bentuk persegipanjang. Pada perkembangannya unsur
tersebut ditunjukkan dengan posisi nisan pada ujung utara dan ujung selatan serta
terkadang di tambah dengan adanya jirat. Jika makam tersebut adalah makam
seorang yang berstatus sosial tinggi dan sangat dihormati pada umumnya
ditambahkan juga cungkup.
Pemberian jirat serta cungkup sebenarnya menyalahi kaidah syariat dalam Islam,
namun penyimpangan tersebut tetap dilakukan karena adanya pemahaman hukum
yang berbeda dari masing-masing umat Islam. Hal itu disebabkan karena adanya
faktor budaya yang terlebih dulu ada sebelum Islam masuk.
Kompleks makam diletakkan pada satu lokasi di sekitar pemukiman atau diletakkan
pada suatu tempat tinggi (bukit) atau daerah yang berada di sekitar sungai. Makam
Datuk Batu Hampar yang berada di Kecamatan Batu Hampar merupakan makam yang
diletakkan pada lokasi yang membukit dan berada 250 meter di timur tebing ruas
Sungai Rokan. Kompleks makam ini terdiri atas empat tingkatan teras. Makam yang
dianggap merupakan makam dari Datuk Batu Hampar berada di bagian puncak dari
bukit tersebut dan sekarang telah dibangun cungkupnya. Pada makam tersebut
terdapat dua buah nisan dengan bentuk batu Aceh. Pada lokasi teras kedua ditemukan
tipe nisan yang hampir menyerupai bentuk lingga pada masa Hindu. Nisan tersebut
berbentuk bulat dengan bahan sandstone dan tidak berhias/polos. Kemungkinan nisan
makam tersebut merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki strata sosial hampir
sama dengan kaum agamawan atau brahmana pada kasta di Hindu. Pada teras ketiga
dan keempat bentuk nisannya yang ditemukan mempunyai hiasan-hiasan dan terdiri
atas dua bentuk dasar yaitu bentuk gada dan bentuk pipih bersayap. Kemungkinan
nisan-nisan tersebut merupakan pertanda bahwa orang yang dimakamkan pada
tempat tersebut merupakan kaum bangsawan. Peletakan lokasi makam pada sebuah
bukit yang lebih tinggi dari wilayah sekitarnya merupakan implementasi dari konsep
pemujaan pada roh leluhur. Selain itu, penempatan makam pada lokasi tersebut
dihubungkan dengan adanya konsep pensakralan lokasi karena di sebelah barat 48
kompleks makam ini ditemukan juga batu belah yang disakralkan juga oleh
masyarakat.
4.1.2. Klenteng
Bangunan suci masyarakat Tionghoa adalah klenteng atau vihara. Vihara merupakan
bangunan suci masyarakat Tionghoa untuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan,
Nabi-nabi, serta arwah para leluhur yang berkaitan dengan ajaran Tridharma
(Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme). Adapun masyarakat awam menyebutnya
klenteng.
Kata klenteng dihubungkan dengan bunyi lonceng/genta yang dibunyikan pada
penyelenggaraan upacara di bangunan suci itu, sehingga lama-kelamaan, untuk
memudahkan penyebutan bangunan suci itu – orang menamakannya dengan
klenteng. Penamaan klenteng kemungkinan juga berasal dari istilah Kwan Im Ting,
yakni bangunan kecil tempat orang memuja Dewi Kwan Im. Dari kata Ting, maka
muncul anggapan bahwa bangunan tersebut disebut klenteng. Nama klenteng semakin
populer tatkala penggunaan genta kecil dalam upacara umat Buddha yang berbunyi
teng-teng-teng.
Sebutan vihara digunakan untuk memberikan wajah Buddhisme di Indonesia
mengingat situasi politik yang berkembang pada saat itu, sehingga masyarakat
penganut Tridharma menambahkan pada aspek-aspek Buddhis dalam peribadatannya
(Lombard dan Salmon, 1985: 48). Penyebutan klenteng dalam bahasa Tionghoa
adalah kiong yang artinya “istana”. Ada juga yang menyebutkan tong atau ting yang
artinya bangunan suci dalam bentuk kecil. Namun istilah yang tepat untuk menyebut
tempat ibadah ini adalah bio atau miao, yaitu bangunan yang digunakan untuk tempat
penghormatan dan kebaktian bagi Khong Cu (konghucu), sehingga disebut Khong Cu
Bio (Moerthiko,1980: 97--99).
Penamaan vihara/klenteng umumnya memakai nama atau gelar yang dipakai oleh
dewa-dewa utama yang dipuja di dalamnya, seperti misalnya Klenteng Dewi Samudera
(Tjan Hou Gong), Klenteng Dewi Welas Asih atau Da Bo Gong Miao (Toa Pe Kong),
Luban Gong atau Lu Ban (pelindung tukang Kayu). Selain itu tidak jarang penamaan
klenteng disesuaikan dengan nama/sebutan lokasi keletakan bangunannya, atau
berdasarkan komunitas persekutuannya (Dewi, 2000: 22). 49
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
Bangunan vihara atau klenteng menarik dikaji antara lain karena memiliki arsitektur
yang cukup unik, dengan pola penataan ruang, struktur, konstruksi dan
ornamentasinya yang khas. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana hubungan
antara fungsi bangunan vihara/klenteng dikaitkan dengan keberadaan ornamen dan
pola hias yang terdapat pada bangunan klenteng tersebut.
Arsitektur bangunan ditujukan untuk memberikan nuansa bagi kegiatan-kegiatan
tertentu yang dilakukan di tempat tersebut, mengingatkan orang tentang jenis kegiatan
yang dilakukan. Dalam perencanaan bangunan berarsitektur Tiongkok, bangunan altar
utama selalu di tempatkan pada lokasi yang paling strategis. Fengsui memberikan
arahan untuk tempat-tempat yang dianggap baik tersebut, sehingga mampu
memberikan manfaat bagi orang mempercayainya. Bangunan klenteng umumnya
dibangun di atas podium atau lantai yang ditinggikan. Selain dimaksudkan agar
terbebas dari kelembaban, ruangan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa bangunan
tersebut lebih penting/sakral.
Bangunan klenteng terdiri dari ruang utama dan beberapa ruang yang mengelilinginya.
Pada ruang utama terdapat beberapa patung yang merupakan fokus dari pemujaan
yang dilakukan di klenteng tersebut. Namun demikian tanpa mengabaikan beberapa
dewa yang lain di klenteng tersebut diletakkan juga beberapa patung, yang merupakan
kelengkapan lain dalam ajaran Tridharma yang mewakili ajaran Taosime,
Konfusianisme dan Buddhisme.
Lombard dan Salmon (1980) dalam bukunya menyebutkan, tata cara ibadah di
klenteng mengikuti tata cara Agama Konfusianisme (khonghucu) sebab semua
persyaratan/perlengkapan sembahyang yang ada berpedoman pada tata cara ajaran
Konghucu. Hal ini disebabkan awal mulanya vihara atau klenteng dibangun dalam
lingkungan penganut ajaran Konghucu. Segala peraturan dan perlengkapan
sembahyang yang berada di dalamnya berpedoman pada tata cara ajaran dan tata
laksana upacara yang ada di dalam sebuah Khong Cu Bio atau Bun Bio (klenteng)
(Moerthiko, 1980: 100--101). Wajah Buddhisme dimunculkan mengingat situasi politik
yang terjadi pada sekitar tahun 1965, sehingga masyarakat penganut Tridharma
menekankan pada aspek-aspek Buddhis dalam peribadatannya (Dewi, 2000: 22).50
Ornamen yang terdapat di vihara ini memiliki jiwa dan karakter yang khas, yang
bertujuan untuk memenuhi pemuasan kebutuhan religi. Selain itu ornamen yang ada
juga bertujuan untuk mengkomunikasikan konsep, ajaran dan falsafah dalam
kehidupan masyarakat tersebut. Hiasan berupa naga mengapit pagoda atau mutiara
(Siang Leng Pho Thak = dua naga membangun rumah) yang terdapat di bagian atap
merupakan simbol dari kesucian. Di tiap sisinya terdapat hiasan berupa naga yang
merupakan mahluk yang dihormati dan pembawa berkah. Dinding bagian luar dihiasi
dengan lambang-lambang yang membawa kebaikan, seperti kelelawar (pertanda rejeki
dan panjang umur), kura-kura yang mengandung makna panjang umur, kekuatan dan
daya tahan. Adapun lambang-lambang geomasi dianggap dapat mengusir pengaruh
buruk yang menjadi ancaman bagi orang di dalamnya.
Di bagian gerbang depan dua hiasan berupa patung singa yang merupakan patung
penjaga. Kedua patung ini merupakan lambang kekuatan yang agung dan megah.
Kedua patung singa ini dimaksudkan untuk mencegah masuknya pengaruh-pengaruh
jahat. Tiang-tiang penyangga bangunan dihiasi dengan simbol antara lain dengan
hiasan naga yang merupakan simbol penjaga, perlindungan dan kekuasaan. Selain
hal-hal tersebut di atas pada masyarakat Tionghoa dikenal juga beberapa simbol yang
seringkali digunakan sebagai penghias dalam bangunan berarsitektur Tiongkok,
seperti misalnya; Delapan simbol keabadian atau delapan simbol Pendeta Tao, yang
meliputi: kipas, pedang, kendi dari buah labu, alat musik, sekerajang bunga, alat musik
bambu dan bunga teratai. Delapan simbol Buddha, yang meliputi: roda hukum dan
cakra, kulit kerang, payung, kanopi atau tenda, bunga teratai, kendi, ikan dan simpul
yang tak putus. Delapan simbol kebahagiaan yang meliputi: mutiara, koin, obat dan
tablet, cermin, lonceng dari batu, buku/kitab, daun penyembuh (artemesia) dan
terompet dari cula badak (Hook, 1991: 397). Empat simbol kepandaian yang meliputi:
papan catur, gulungan pustaka, satu set kitab dan bantal (Burling, 1953: 362).
Selain merupakan persyaratan yang terdapat dalam ajaran Konghucu, simbol-simbol
tersebut juga merupakan sarana untuk memuaskan kebutuhan religi masyarakat
penganutnya. Upacara-upacara keagamaan cukup banyak dilakukan berkaitan dengan
sembahyang atau kebaktian yang dilakukan oleh penganut Tridharma di vihara ini,
areal yang sempit tersebut akan semakin tambah sesak pada saat hari-hari besar
keagamaan. Banyak upacara keagamaan yang diselanggarakan di halaman depan 51
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
pada hari-hari besar keagamaan, seperti pembakaran uang kertas, atau persembahan
pembagian makanan.
Ajaran Konghucu atau Ru Jiao adalah ajaran monoteis, yaitu ajaran yang hanya
percaya pada satu Tuhan yang biasa disebut Tian (Tuhan Yang Maha Esa) atau
Shandi (Tuhan Yang Maha Kuasa). Konsep Tuhan dalam ajaran Konghucu tidak dapat
diperikan tetapi dapat dirasakan oleh orang beriman. Sifat kodrati atau watak sejati
manusia (Xing) menurut ajaran Konghucu adalah bersih dan baik karena berasal dari
Tuhan itu sendiri. Agar sifat ini terpelihara, maka manusia perlu untuk menempuh jalan
yang diberkati oleh Tuhan (Jalan Suci).
Seperti ajaran agama lain, dalam ajaran Konghucu juga dikenal hubungan vertikal
antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horizontal, yaitu hubungan manusia
dengan manusia. Ajaran-ajaran yang terdapat pada Konghucu yang menyangkut
keseimbangan hubungan manusia dengan manusia dikenal dengan Golden Rule atau
Hukum Emas yang bersifat Yin dan Yang.
Ajaran Konghucu juga menekankan bahwa manusia perlu memiliki Tiga Pusaka
Kehidupan, atau Tiga Mutiara Kebajikan atau Tiga Kebajikan Utama yang disebut Zhi,
Ren dan Yong. Zhi berarti “Kebijaksanaan dan Pencerahan”. Ren berarti “Cinta Kasih”
yang bersifat universal, dan Yong diartikan dengan “Keberanian”. berani karena
berdasarkan kebaikan.
Tempat ibadah umat Konghucu disebut dengan Lithang, Miao (bio) Kongzi Miao,
Kongcu Bio dan Klenteng. Lithang merupakan tempat sembahyang dan juga tempat
kebaktian secara berkala, biasanya setiap hari minggu atau tanggal 1 dan 15
penanggalan Imlek. Di tempat ini para umat mendapat siraman rohani. Vihara Setia
Budi adalah merupakan sebuah Miao atau klenteng yang merupakan tempat
sembahyang. Selain itu vihara ini merupakan tempat ibadah penganut ajaran Tao dan
Buddha Mahāyāna.
Altar utama pada vihara ini adalah dengan patung dari dewa utama berukuran lebih
besar dengan perlakuan lebih istimewa. Patung dewa utama di vihara Setia Budi
adalah Kwan Tie Kong (Kwan sing Tee Kun). Di belakang altar persembahan kepada
Kwan Kong adalah merupakan altar persembahan kepada Buddha. Masyarakat 52
Tionghoa mengenal Vihara Setia Budi adalah merupakan vihara tempat persembahan
kepada Dewa Kwan Kong, Kwang Tee, kwang Tie Kong atau Kwan Sing Tee Kun.
Kwan Khong dikenal juga sebagai dewa perang yang menguasai alam jagad dan
langit. Pemujaan terhadap Kwan Kong diharapkan akan mampu memberikan
keselamatan dan melepaskan dari bencana. Pada beberapa kesempatan Kwan Khong
menjelma dan mengingatkan segala tingkah laku manusia, salah satunya adalah pada
saat Dinasti Han Berkuasa. Pada masa itu dipercaya Kwan Khong merupakan seorang
panglima perang yang sanggup mengatasi permasalahan kenegaraan yang ada.
Pemujaan terhadap Kwan Khong memiliki arti yang lebih luas karena sebagai dewa,
Kwan Khong merupakan pelindung bagi bumi, langit beserta segala isinya (Kitab Kwan
Sing Tee Kun, tt: 22--27).
4.1.3. Gereja
Gereja-gereja di Indonesia mulai ada dan berdiri semenjak datangnya orang-orang
Eropa. Secara umum, latar belakang pendirian gereja adalah sebagai tempat ibadah
bagi masyarakat Kristen dan Katolik. Gereja-gereja tersebut dibangun dengan
arsitektur gaya Eropa.
Pada tahun 1928 sekelompok misionaris Kapusin dipimpin Benitius Pijnenburg
menetap di Bagansiapiapi. Kehadiran Gereja Katolik dimulai dengan beberapa
sekolah, kursus-kursus, dan panti jompo. Kelak pada tahun 1941 di lingkungan Paroki
Bagansiapiapi, yang juga menaungi stasi Selatpanjang dan stasi Panipahan, telah
tercatat 375 orang Cina yang memeluk agama Katolik dan 39 orang Eropa (End &
Weitjens, 2003:448--449)
4.1.4. Candi Sintong dan Candi Sedinginan
Kekuasaan politik di sekitar Sungai Rokan sudah dikenal sejak masa Kerajaan
Majapahit, walau demikian, sampai saat ini lokasi pasti dari Kerajaan Rokan belum
dapat diketahui secara pasti. Dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu
Prapanca pada 1365 M, pada pupuh 13 bait pertama menyebutkan sejumlah nama
daerah di pantai timur Sumatera yang merupakan wilayah kekuasaan Majapahit,
antara lain Malayu, Jambi, Palembang, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siyak, Rekan,
Kampar, Pane, Haru, Mandahiling, Tumihang, Parlak, dan Barat. Sebagai daerah yang
dilindungi, maka daerah Rekan atau Rokan harus memberikan pajak/upeti kepada
Majapahit dan untuk itulah raja Majapahit mengirim utusan mengutip pajak tersebut. 53
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
Data tersebut menunjukkan bahwa telah ada kerajaan di tepi Sungai Rokan pada
pertengahan abad XIV M. Oleh karena itu, kemungkinan nama Sintong dan Sedingin
juga berasal dari masa-masa tersebut yaitu sekitar abad XV M (Suhadi & Hakim,
1994:1-2).
Candi Sintong dan Sedinginan tersebut memiliki pola arah hadap yang sama
yaitumenghadap ke arah barat, menghadap ke aliran Sungai Rokan. Pendirian candi
ini kemungkinan dihubungkan dengan adanya konsep siddayatra, perjalanan suci dari
candi ke candi.
4.2. Analisis Kesejarahan Temuan Arkeologis Di Bagansiapiapi
Di wilayah Batu Hampar pernah berdiri Kerajaan Bangko yang berdiri setelah
runtuhnya Kerajaan Pekaitan akibat serangan Portugis. Setelah itu, aktivitas politik dan
perdagangan di sepanjang aliran Sungai Rokan meredup selama beberapa abad.
Aktivitas perdagangan kembali muncul setelah berdirinya beberapa kerajaan di
sepanjang aliran Sungai Rokan. Di daerah Rokan Hulu muncul Kerajaan Rambah
(berpusat di Pasir Pengairan), Kerajaan Tambosai (berpusat di Dalu-Dalu), Kerajaan
Kepenuhan (berpusat di Kota Tengah), Kerajaan Rokan IV Koto (berpusat di Rokan IV
Koto), dan Kerajaan Kunto Darusalam (Berpusat di Kota Lama). Sementara di Rokan
Hilir muncul tiga kerajaan yaitu, Kerajaan Kubu (berpusat di Teluk Merbau), Kerajaan
Tanah Putih (berpusat di Tanah Putih), dan Kerajaan Bangko, berpusat di Bantaian
(Yusuf, 1995:41 --42).
Tidak diketahui dengan pasti kapan berdirinya Kerajaan Bangko. Wan Saleh Tamin
(1972:51) menyatakan Kerajaan Bangko berdiri sekitar abad ke-16 M sementara
Ahmad Darmawy (2008:75) menegaskan Kerajaan Bangko berdiri sekitar setengah
abad setelah runtuhnya Kerajaan Pekaitan. Patokan angka tahun ini mungkin
berdasarkan serangan Portugis ke Bandar Melaka 1511 M, yang kemudian
menguasainya dan beberapa bandar-bandar penting di sepanjang Sungai Rokan,
termasuk Kerajaan Rokan dan kemudian Pekaitan.
Kerajaan Bangko didirikan oleh Syarif Ali, seorang saudara Sultan Malik Al-Shaleh dari
Kerajaan Pasai. Beliau melarikan diri dari Pasai karena serangan Portugis. Di Batu
Hampar beliau membuka kampung dan mengembangkan agama Islam. Batu Hampar
kemudian berkembang menjadi sebuah bandar penting yang ramai dikunjungi orang
dari berbagai negeri, termasuk dari Langkawi (Malaysia) dan Aru. Syarif Ali yang 54
kemudian dikenal sebagai Datuk Batu Hampar mendirikan Kerajaan Bangko (Ahmad
Darmawy,2008:77). Dari narasi sejarah itu, tampak bahwa nama Makam Datuk Batu
Hampar berhubung erat dengan proses Islamisasi di Rokan dan Syarif Ali dari Pasai
adalah tokoh sentral dalam proses itu.
Masuknya agama Islam ke Rokan sebenarnya sudah terjadi dua abad sebelum
munculnya Kerajaan Bangko. Kerajaan Rokan yang sudah wujud pada abad ke-14 M
sebagaimana disebutkan dalam Negara Kertagama, diperintah oleh raja-raja yang
sudah memakai gelar Sultan. Menurut Sejarah Melayu, Raja Rokan adalah anak
Sultan Sidi saudara Sultan Sujak (A. Samad Ahmad,1986:82). Agama Islam masuk ke
Rokan dari Pasai melalui hubungan perdagangan yang mempertautkan antara kedua
bandar perdagangan penting itu (Muchtar Lufti, ed.,1977:154). Jadi sejak masa itu
Islam sudah mulai masuk ke Rokan dan kedatangan Syarif Ali ke Batu Hampar
bukanlah mewakili golongan penyebar agama Islam yang pertama di Tanah Rokan.
Tetapi beliau melanjutkan dakwah Islam di Batu Hampar yang kemungkinan
masyarakatnya masih kuat menganut ajaran Hindu/Buddha. Analisis terhadap
berbagai batu nisan yang ada di komplek makam dapat menjelaskan bagaimana
proses Islamisasi di Rokan, khususnya di Batu Hampar.
Tidak diketahui dengan pasti, siapa tokoh-tokoh yang dikuburkan di makam tersebut
termasuk yang mana Makam Datuk Batu Hampar, karena tidak satupun terdapat
tulisan pada batu nisan. Kemungkinan makam yang selama ini dikatakan sebagai
makam Datuk Hampar yang diberi cungkup, berdasarkan pada kedudukannya yang
lebih tinggi daripada makam-makam lainnya. Dugaan ini diperkuat dengan jenis batu
nisan yang dipergunakan yaitu jenis AP10. jenis ini telah dipergunakan sejak abad ke-
15 M dan penggunaannya makin ramai memasuki abad ke-16 M, terutama di Pasai
dan Banda Aceh (Suprayitno,2008:173). Terdapat 12 batu nisan jenis AP10 yang
betarikh abad XVI M di Asia Tenggara. Oleh karena itu, kedatangan Syarif Ali yang
kemudian mangkat di Batu Hampar pada abad ke-16 M, sesuai dengan kronologi
penggunaan jenis batu nisan yang dipakai pada makam beliau.
Dari segi bentuk ukiran mungkin dapat diperkirakan jenis kelamin orang yang
dikuburkan. Satu buah nisan bentuk dasar pipih (AP 10) yang utuh diperkirakan
makam seorang perempuan karena terdapat ukiran berbentuk giwang (bulatan) pada
kedua bahu nisan. Makam dengan jenis seperti ini dikenali sebagai makam permaisuri 55
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
Sultan Mujaffar Shah di Tanah Abang, Perak Tengah, Malaysia. Sementara nisan
silindris (AS2 dan AS3), diperkirakan makam seorang lelaki, berdasarkan kepada
bentuknya yang semacam gada dan nisan jenis ini memang tidak mempunyai ukiranukiran yang melambangkan simbol kewanitaan. Dalam beberapa kasus, nisan jenis ini
merupakan makam kaum lelaki, seperti makam Tun Sri Lanang di Biruen dan makam
Syiah Kuala, di Banda Aceh. Nisan jenis ini sudah dipergunakan sejak abad XVI M dan
berkembang pesat pada abad XVII M.
Mengenai masih kuatnya tradisi Hindu-Buddha pada masyarakat Batu Hampar pada
masa itu dapat kita ketahui dari bentuk dan ukiran pada batu nisan tersebut. Bentuk
batu nisan jenis (AP4) mempunyai ukiran timbul berbentuk bulatan pada nisan kaki.
Ukiran ini melambangkan sebuah sinar yang dikenal dengan ’Sinar Majapahit’. Simbol
seperti ini juga terdapat pada nisan-nisan Islam di Troloyo, Jawa Timur sebagaimana
telah diteliti oleh Damais tahun 1957. Meskipun semua nisan jenis ini tidak terdapat
tulisan yang menunjukkan angka tahun, diperkirakan usianya cukup tua. Apabila
merujuk kepada nisan jenis yang sama pada makam Sultan Alaeddin Said Maulana
Abdul Aziz Syah di Gampong Bandrong, Desa Bandar Kalifah, Peurelak, Aceh Timur,
maka diperkirakan penggunaan nisan ini sudah lebih tua daripada nisan lainnya.
Kerajaan Peurelak sudah berdiri sejak abad IX M, atau setidaknya sebelum Kerajaan
Pasai abad XIII M.
Simbol ’Sinar Majapahit’ itu sendiri mencerminkan bagaimana kuatnya pengaruh
budaya Jawa atau Hindu/Budha pada masyarakat setempat, sehingga harus diukirkan
pada batu nisan kubur orang yang meninggal. Hal ini pula bermakna bahwa pengaruh
Majapahit benar-benar wujud di tanah Rokan sebagaimana disebut dalam Negara
Kertagama. Memang sukar memastikan apakah orang yang dikubur dengan nisan
jenis ini hidup pada abad ke-13-14 M. Namun penggunaan batu nisan tersebut
menunjukkan bagaimana sebuah proses Islamisasi terjadi dalam masyarakat yang
masih kuat memegang tradisi pra-Islam.
Meskipun penduduk memeluk agama Islam yang dibawa oleh Syarif Ali atau orang lain
sebelumnya, masyarakat setempat masih kukuh mempertahankan tradisi
Hindu/Budha. Hal ini tampak dengan digunakannya trimurti (tiga bagan) dalam
kepercayaan Hindu/Budha pada bentuk nisan. Bentuk trimurti wujud pada bentuk
dasar nisan segi empat, bagian tengah bentuk segi lapan bergerigi dan bagian puncak 56
silindris serta terdapatnya ukiran kelopak bunga teratai (lotus) pada puncak nisan. Pola
hiasan semacam itu terdapat pada candi-candi di Jawa. Sementara makam dengan
dua buah batu nisan tipe Melayu, merupakan makam baru bukan dari periode
Kerajaan Bangko ( Abad XVI – XVIII M). Hal ini dapat dikenali dari posisi makam yang
tampak diselipkan diantara makam-makam kuno lainnya serta jenis batu yang
dipergunakan adalah batu nisan tipologi baru.
Tidak ada catatan sejarah tentang Makam Panjang. Menurut keterangan penduduk
lokal, makam ini adalah makam orang Aceh atau kuburan orang Aceh. Jenis batu
nisan tersebut juga terdapat di Kampung Pande, Kampung Lambhuk di Banda Aceh,
Makam Putroe Bale, Pidie dan Makam Tok Dewangsa, Perak Tengah, Negara Bagian
Perak, Malaysia. Sukar untuk menentukan kronologi situs makam tersebut, karena
hampir semua makam dengan jenis batu nisan demikian tidak ada mengandung tulisan
apapun. Tetapi berdasarkan kronologi Makam Putroe Bale di Pidie yang juga terdapat
batu nisan dengan jenis serupa, kemungkinan Tapak Makam Panjang sudah wujud
pada abad ke-16 sampai abad XVII M.
Berdasarkan kedudukan Makam yang terletak di atas perbukitan, maka makam
tersebut kemungkinan dahulunya merupakan komplek pemakaman golongan
bangsawan atau ulama, sebagaimana lokasi pemakamamn kuno masa Kerajaan Islam
di Nusantara. Namun Kerajaan Islam manakah yang kemungkinan pernah wujud di
kawasan ini. Berdasarkan catatan sejarah, diketahui bahwa sejak abad XVI M
terdapat Kerajaan Tanah Putih, Kerajaan Bangko dan Kerajaan Kubu (Pakaitan) di
wilayah Rokan Hilir. Kerajaan-kerajaan ini muncul setelah Kerajaan Rokan yang
berpusat di Kota Lama hancur karena serangan Kerajaan Aru atau Portugis pada awal
abad XVI M. Berdasarkan jenis batu nisan dan data sejarah, kemungkinan Makam
Panjang adalah peninggalan Kerajaan Tanah Putih.
Kerajaan Tanah Putih berkedudukan di pertengahan Sungai Rokan. Sejak abad XVIII
M, Kerajaan Tanah Putih tunduk dibawah kekuasaan Kerajaan Siak Inderapura. Untuk
memperkuat pengaruh Siak, Sultan Said Ali mempersunting, seorang puteri Kerajaan
Tanah Putih. Pada masa Sulatan Siak ke-11 (Sultan Syarif Hasyim: 188-198),
Kerajaan Tanah Putih dijadikan propinsi dan diperintah oleh seorang Kepala Negeri
yang bergelar Datuk Setia Maharaja dan daerahnya disebut negeri. Sementara di
daerah Rokan Hulu, Rajanya bergelar Yang Di Pertuan dan daerahnya disebut Luhak.57
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
Masyarakat di Rokan Hilir disusun berdasarkan kelompok-kelompok suku. Masingmasing negeri memiliki suku-suku dan setiap suku dipimpin oleh Kepala Suku.
Gabungan dari kepala-kepala suku dipimpin oleh Pucuk Suku. Gabungan dari Pucuk
suku dipimpin oleh Datuk Bendahara sebagai pendamping Raja dalam kerapatan adat
(Ahmad Yusuf,1995: 44).
Wilayah Kerajaan Tanah Putih dari mulai Tanjung Segora mengikuti arah hulu Sungai
Rokan berbatasan dengan daerah Kunto di Kota Intan. Dari Sarang Lang arah hulu
Sungai Rokan ke kiri masuk Batang Kuman ke Muara Batang Buruk sampai ke Air
Mendidih di Kepenuhan. Dari Sungai Ragun sampai Batin Delapan dan dari Batang
Buruk hingga ke Langkuas berbatasan dengan kerajaan Tambusai di Dalu-Dalu
(Ahmad Dharmawi,2005:84 --85).
Terkait dengan keberadaan Rumah Kapiten di Bagansiapi-api, hal tersebut tidak lepas
dengan suatu kebijaksanaan pihak colonial di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda
dahulu mengangkat orang pilihannya sebagai pimpinan masyarakat Tionghoa di suatu
daerah. Mereka yang diangkat menggunakan pangkat-pangkat major , kemudian,
kapitein, dan luitenant, serta yang terendah adalah wijkmeester (semacam ketua
lingkungan dalam istilah sekarang). Para pemimpin tersebut oleh masyarakat Tionghoa
disebut kongkoan, kata yang sebetulnya berarti kantor tempat pemimpin itu bekerja.
Tugas yang dikerjakan pemimpin tersebut adalah mengantarai hubungan orang
Tionghoa yang berurusan dengan pemerintah Hindia Belanda. Terkait dengan itu maka
hal-hal yang dikerjakan adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat
Tionghoa di suatu daerah, mengurus ikhwal kepercayaan, adat istiadat, perkawinan,
dan hal lainnya. Selain mencatat perkawinan, kelahiran, dan kematian, mereka juga
mengadili segala perkara di antara orang Tionghoa. Para pemimpin itu adalah pemberi
nasehat kepada pemerintah Hindia Belanda dan sekaligus pembawa peraturan
pemerintah kepada masyarakat Tionghoa. Berkenaan dengan itu dapat dimaklumi bila
pada pemimpin itu terpilih karena pengaruh dan kehormatan serta kekayaannya di
antara orang-orang Tionghoa (Vasanty, 2004:365--366).
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Kota Bagansiapiapi merupakan daerah yang telah dihuni dan berkembang oleh adanya
beberapa aspek yang dimilikinya. Posisi strategis yang berbatasan langsung dengan 58
jalur perdagangan yaitu Selat Malaka membuat pesatnya perkembangan daerah ini.
Selain itu, keberadaan Sungai Rokan yang merupakan salah satu jalur transportasi
dari pedalaman Riau sampai ke daerah pesisirnya memberikan dampak terhadap
perkembangan Bagansiapiapi sebagai salah satu bandar perdagangan di wilayah timur
Sumatera. Keberadaan Sungai Rokan tersebut juga memberikan kekayaan alam yang
cukup melimpah karena suburnya daerah di sekitar aliran sungai tersebut.
Keberadaan pedagang-pedagang Cina yang kemudian menetap dan bermukim di
wilayah tersebut semakin membangun perekonomian yang ada di Bagansiapiapi.
Selain itu, ditopang juga dengan adanya bukti-bukti yang menunjukkan adanya aktifitas
pemerintahan yang telah berjalan sejak masa Majapahit, Kerajaan Rokan, menjadikan
wilayah ini menjadi salah satu daerah yang sangat terkenal di daerah Pesisir Timur
Sumatera.
Dahulu, sebelum abad ke-20 kegiatan perikanan di Indonesia masih didominasi
kegiatan perikanan bagi pemenuhan kebutuhan pangan penduduk yang hidup di
sekitar wilayah pesisir dengan skala perdagangan yang terbatas. Secara perlahan
skala ini berubah ke arah komersial yang bertujuan memenuhi kebutuhan pangan
wilayah-wilayah lain, juga yang terpencil sekalipun, dengan teknologi pengawetan ikan
yang terbatas. Pertumbuhan yang berlangsung sejak tahun awal abad ke-20 sejalan
dengan urbanisasi dan perkembangan transportasi dan system pemasaran.
Percepatan pertumbuhan perikanan memuncak dengan armada perikanan yang
semakin termekanisasi sehingga kegiatan perikanan juga merambah ke laut lepas.
Bagansiapiapi dalam bagian dari kondisi demikian.
Survei yang telah dilakukan oleh tim Balai Arkeologi Medan yang bekerjasama dengan
beberapa pihak terkait pada bulan Oktober 2009 telah menghasilkan beberapa
keterangan tentang beberapa tinggalan kepurbakalaan – yang tidak lepas dari
berlangsungnya aktivitas perikanan oleh masyarakat Bagansiapiapi yang cenderung
didominasi orang Cina - yang memerlukan perhatian lebih lanjut.
Hal yang menarik pula untuk mempelajari bentuk kota awal di pantai timur Sumatera.
Bagansiapiapi layak menjadi contoh perkembangan sebuah pemukiman menjadi salah
satu kota yang cukup besar. Pada kota itu ada pengalaman transformasi dari
tradisional ke modern, dan yang menjadi pertanyaan apakah akulturasi sebagai bagian59
Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi…..
dari transformasi telah terjadi di sana ? Dan bila itu terjadi, apakah itu berkenaan
dengan akulturasi terhadap budaya lokal – budaya Melayu – atau karena ada
intervensi politik kekuasaan pada masa pemerintahan Hindia Belanda di sana. Hal ini
perlu kajian lebih lanjut melalui tinjauan yang lebih mendalam informasi dari data yang
diperoleh dalam penelitian yang baru dilakukan.
5.2. Rekomendasi
Beberapa hal yang dapat disampaikan berkenaan dengan hasil penelitian di
Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau adalah sebagai berikut:
1. Peninggalan kepurkalaan di wilayah Bagansiapiapi dan Kabupten Rokan Hilir
merupakan bukti perjalanan sejarah yang cukup panjang daerah ini. Oleh karena
itu, nilai penting tinggalan purbakala tersebut tidak hanya berguna bagi
masyarakat setempat saja, namun berguna bagi sejarah bangsa Indonesia.
Untuk itu, diperlukan upaya perlindungan terhadap tinggalan-tinggalan tersebut
dengan peraturan hukum daerah atau pun jika memungkinkan dijadikan Cagar
Budaya.
2. Objek-objek tinggalan purbakala merupakan asset daerah yang dapat
dimanfaatkan dan dikembangkan untuk beberapa keperluan, baik besifat ilmu
pengetahuan, ekonomi, sosial, budaya, dan kepariwisataan. Dalam pada itu,
diperlukan juga pertimbangan-pertimbangan terhadap upaya pelestarian
tinggalan purbakala tersebut. Untuk itu, diperlukan adanya juru pelihara pada
tinggalan-tinggalan purbakala tersebut yang sedapat mungkin berasal dari
lingkungan tinggalan budaya tersebut.
3. Di Bagansiapiapi dikenal suatu ritual masyarakat Tionghoa, yakni ritual Bakar
Tongkang atau Go CapLak, yang diselenggarakan setiap penanggalan Imlek
bulan kelima (Go) tanggal ke-16 (CapLak) setiap tahunnya. Ritual tersebut
mampu menyedot puluhan ribu wisatawan baik domestik maupun manca negara.
Pemda Kabupatan Rokan Hilir layak menggencarkan promosi potensi wisata
tersebut.
4. Untuk lebih menggali potensi-potensi lain serta merunut kembali sejarah daerah
maka diperlukan penelitian-penelitian lanjutan yang dapat memperkaya wawasan
maupun dalam upaya pembentukan masterplan daerah pemanfaatan potensi
daerah pada era otonomi.60
Kepustakaan
Ahmad, A Samad. 1986. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kementrian Pelajaran Malaysia
Bappeda dan BPS Kabupaten Rokan Hilir. 2008. Rokan Hilir Dalam Angka/In Figures 2007.
Bagansiapiapi: Biro Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Rokan Hilir
Darmawy, Ahmad. 2005. Syair Rokan Hilir. Bagan Siapi-api: Lembaga Seni Budaya Melayu
Riau
End, Th van den & J Weitjens. 2003. Ragi Carita 2. Sejarah Gereja Di Indonesia 1860-an –
Sekarang. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Fitrisia, Azmi. 2005. ”Perkembangan Kota Bagan Siapi-api 1930-1970”, makalah dalam
Seminar Dan Workshop Internasional Dekolonisasi di Pulau Sumatera (1930-1970) di
Padang
Herwandi. 2003. Bungong Kalimah: Kaligrafi Islam Dalam Balutan Tasyawuf Aceh (pada Abad
16-18 M). Padang: Universitas Andalas
Kong Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer
Lufti, Muchtar (ed.). 1977. Sejarah Riau. Pekanbaru: Percetakan Riau
Majalah Komunitas Bagan Siapi-api. Edisi Perdana, Mei 2009.
Monografi Daerah Riau, 1981. Jakarta: Proyek Pengembangan Media kebudayaan, Depdikbud
Pesona Pariwisata Rokan Hilir, brosur. Bagan Siapi-api: Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir
Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemuda dan Olahraga
Potensi Pariwisata Kabupaten Rokan Hilir, brosur. Bagan Siapi-api: Pemerintah Kabupaten Hilir
Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemuda dan Olahraga.
Slametmulyana. 1981. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu
Suprayitno. 2008. Makam-Makam Di Raja Perak: Sumbangannya Kepada Asal Usul Kerajaan
Perak dan Pengaruh Aceh di Negeri Perak, thesis pada University Sains Malaysia,
Pulau Pinang, Malaysia
Sutrisna, Deni, Ery Soedewo, dan Lucas Partanda Koestoro. 2006. ”Situs dan Objek Arkeologi
di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau”, dalam Berita Penelitian Arkeologi No.15.
Medan: Balai Arkeologi Medan
Tamin, Wan Saleh. 1972. Lintasan Sejarah Riau. Pekanbaru: BPKD Propinsi Riau
Vasanty, Puspa. 2004. ”Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia”, dalam Koentjaraningrat
(ed.), Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan, hal. 353—373
Yamin, Muhammad, 1960. Gadjah Mada. Jakarta: Balai Pustaka
Yusuf, Achmad et al., 1995. Sejarah Kerajaan Kunto Darusalam. Pekan Baru: Pemda Riau